Sabtu, 29 Mei 2010

Kartini, emansipasi dan Hukum Islam

Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, disebabkan tanggal tersebut adalah hari lahir R.A.Kartini (1879-1904). Kartini dianggap sebagai tokoh wanita yang memperjuangkan hak-hak wanita dengan surat menyurat yang dilakukannya, yang dikumpulkan dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang“.
Ide dan pemikiran Kartini tersebut bagi sebagian orang menjadi inspirasi untuk mengangkat derajat wanita bagi bangsa Indonesia. Padahal sebelum Kartini dilahirkan, sudah banyak putri-putri bangsa Indonesia yang telah berkiprah dalam masyarakat sebagaimana yang ditunjukkan oleh putri-putri Aceh di masa lalu. Mereka telah membuktikan diri mereka mampu bermain di tengah masyarakat muslim, disebabkan Islam sangat menghormati hak-hak seorang wanita. Tetapi anehnya pada saat sekarang ini dengan ide emansipasi wanita, kesamaan gender, dan lain sebagainya, malahan banyak kaum wanita yang meminta hak melebihi baras-batas agama Islam, malahan sampai kepada melanggar aturan agama.

Kerajaan Aceh pernah diperintah oleh 4 Sulthanah dari 31 Sulthan penguasa Aceh, yaitu Sri Tajul Alam Safiatuddin (1050-1086 Hijriyah) Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 Hijriyah ), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 Hijriyah), Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 Hijriyah).
Mereka memerintah tanpa harus mengganggu hukum Islam, malahan mereka memerintah dengan untuk menegakkan hukum Islam. Terbukti selama pemerintahan tersebut, mereka mengangkat seorang ulama Syekh Abdurrauf Al Fansuri sebagai mufti kerajaan Aceh.
Begitu hebatnya kedalaman ilmu agama Syekh Abdurauf Fansuri yang dikenal dengan nama Syah Kuala ini sehingga dalam masyarakat Aceh terkenal semboyan yang menyata kan bahwa:  “Kekuasaan di tangan Iskandar Muda dan hukum agama di tangan Syah Kuala“. Ini terbukti bahwa selama pemerintahan ratu di Aceh hukum Islam tetap berjalan dengan baik.
Bukan saja itu, Aceh juga telah membuktikan mempunyai panglima kapal perang seorang perempuan yang bernama Laksamana Malahayati yang memimpin armada laut kerajaan Aceh  berperang melawan kapal perang Portugis. Laksanama Malahayati telah membuktikan bahwa seorang perempuan mampu untuk memimpin armada laut, tanpa harus menghilangkan identitas perempuan dan mengganggu hukum-hukum agama Islam, malah dia berperang melawan Portugis karena motivasi keagamaan dalam berjihad di jalan Allah.
Dalam bidang pendidikan, Aceh mempunyai seorang ulama perempuan yang memimpin pondok pesantren. TengkuFakinah adalah ulama perempuan Aceh yang memimpin dayah LamDiran. Ini membuktikan bahwa seorang perempuan dapat menjadi ulama, padahal selama ini banyak orang mengatakan bahwa Islam melarang seorang perempuan untuk belajar, padahal Islam membebaskan perempuan untuk belajar apa saja, bahkan membolehkan perempuan menjadi ulama, ahli fikih, dan lain sebagainya.
Dalam perjuangan fisik untuk mempertahankan agama dan negara, kita mengenal pahlawan Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid. Sejarah juga mencatat, pahlawan lain bernama Cut Meutia, yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase yang akhirnya menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kape Belanda.
Pocut Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898 -1906.
Pocut Meurah Intan, yang juga sering disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak anaknya Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904.
Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.
Perjuangan wanita Islam zaman dahulu begitu hebatnya, dan semua itu dilakukan dalam rangka melaksanakan hukum Islam dan semangat keislaman.
Anehnya sekarang ini perjuangan emansipasi yang disebarluaskan, bukan emansipasi sebagaimana yang dinyatakan oleh wanita muslimah dimasa lalu seperti puteri Aceh atau Kartini sendiri, sebab perjuangan puteri Aceh dan Kartini bukan untuk mengikuti kebebasan wanita dalam dunia barat, dan bukan untuk mengikuti budaya barat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Kartini sendiri dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira masyarakat Eropa itu satu-satunya yang paling baik, tiada taranya.
Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?”

Lihatlah bagaimana Kartini tidak mau mengikuti peradaban barat sebab dia melihat bahwa dalam peradaban barat banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Tetapi banyak pengikut Kartini sekarang dengan dalih mengikuti gerakan Kartini maka mereka seenaknya mengikuti peradaban barat. Mereka membuka aurat dengan alasan emansipasi wanita, dan lain sebagainya. Malahan ada sebagian kelompok pergerakan wanita yang dikenal dengan nama “kelompok gerakan feminis“ meminta hak nikah yang sama dengan lelaki, hak cerai yang sama, hak talak yang sama, hak iddah yang sama.
Hal ini sudah terlihat dalam draft yang diajukan dalam rencana perubahan undang-undang keluarga yang disusun oleh Musdah Mulia bahwa mereka meminta perempuan mempunyai hak menceraikan suami, wanita mendapat kan hak harta pusaka yang sama dengan lelaki, malahan sebagaimana yang terjadi di kelompok feminis muslim di India, mereka meminta agar dapat menjadi qadhi perempuan yang menikahkan muslimah dengan saksi muslimah.
Di Amerika, muslimah Amerika Aminah Wadud malah mempelopori agar seorang wanita boleh menjadi imam shalat jum’at, dan khatib shalat jum’at. Padahal sewaktu seorang perempuan di Aceh menjadi ratu saja, mereka yang sudah menjadi ratu dan kepala negara tidak menjadi imam dan khatib shalat jum’at, tetap diserahkan kepada ulama dari kaum lelaki. Inilah emansipasi menurut islam, emansipasi yang tidak melanggar hukum-hukum Islam.
Tetapi Aminah Wadud, karena merasa dirinya seorang yang pakar Islam, karena mempunyai gelar profesor dalam studi Islam sudah berani melakukan khutbah dan imam shalat Jum’at, dengan alasan persamaan hak antara lelaki dan perempuan, padahal itu dilakukan karena mengikut peradaban barat, apalagi akibat perbuatan itu akan menghancurkan syariat Islam.
Ini bukan emansipasi
Islam memberikan persamaan hak bagi lelaki dan perempuan, malahan sejarah mencatat bahwa kaum Yahudi, kristiani, Hindu dan semua agama selain Islam sangat merendahkan wanita, sehingga datanglah Nabi Muhammad yang mengangkat derjat wanita lebih tinggi, dan sederajat dalam nilai-nilai kemanusiaan.

“Sesungguhnya Allah tidak mensia-siakan amal orang yang beramal baik, lelaki maupun perempuan karena sebagian kamu adalah keturunan sebagian yang lain“
(QS. Ar Ra’d: 195 )

Tetapi kesamaan hak dan derajat tersebut dilakukan dengan hak dan kewajiban masing-masing .
“Untuk lelaki ada bagian dari usaha yang dikerjakan dan untuk wanita ada bagian dari usaha yang dikerjakan “
(Qs. An Nisa : 32 ).
Dari ayat ini maka perempuan dan lelaki harus berbagi kerja, dan tidak berarti harus sama, sebab semua mempunyai keistimewaan dan kemampuan masing-masing. Walaupun berbeda, Allah akan memberikan pahala sesuai dengan amal masing-masing.
“Siapa yang mengerjakan amal saleh, baik lelaki dan perempuan dan mereka orang yang beriman, maka mereka itu termasuk ke dalam syurga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun“ (QS. Nisa  : 124 ).
Fa’tabiru Ya Ulil albab.
(HM. Arifin Ismail - Renungan Jum'at ISTAID)
selengkapnya.....

Niat Mencari Ilmu.

Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud berkata :
“Akan datang kepada manusia suatu masa, orang yang terbalik kemanisan hatinya menjadi asin. Sehingga pada hari itu, orang yang berilmu tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu yang dimilikinya, dan orang yang mempelajari ilmu tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya.
Maka hati orang yang berilmu laksana tanah kosong yang bergaram, dan turun hujan membasahi tanah tersebut, sehingga tidak ada lagi rasa tawar dalam air yang mengalir dari tanah tersebut. Hal itu akan terjadi jika hati orang yang berilmu sudah condong kepada mencintai dunia dan mendahulukan dunia daripada akhirat. Oleh sebab itulah dicabut Allah dari hati tersebut sumber-sumber hikmah, dan dipadamkan lampu petunjuk dari hati mereka.
Orang yang berilmu itu menceritakan bahwa dia takut kepada Allah, tetapi sikap hidup dan perbuatannya penuh dengan kedzaliman dan dosa. Alangkah suburnya lidah mereka dalam berbicara, tetapi hati mereka tandus dan kering. Hal itu semua terjadi jika seorang guru mengajar bukan karena Allah, dan pelajar juga belajar bukan karena Allah”.

Niat mencari ilmu adalah sangat penting, sehinga ilmu itu dapat menjadi petunjuk dan pedoman dalam mengharungi kehidupan.
Pada hari ini kita lihat, sekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi telah tersedia dengan segala macam bentuk gaya. Setiap tahun ribuan sarjana dikeluarkan dengan gelar dari strata satu, srata dua, sampai strata tiga, dengan gelar master dan doktor. Tetapi dalam kehidupan gelar kesarjanaan tersebut tidak merubah akhlak dan tidak menguatkan keimanan, malahan banyak terjadi sarjana yang melakukan maksiat, korupsi, penipuan, penganiayaan dan sebagainya. Mengapa hal ini dapat terjadi, dalam sistem pendidikan kita..?
Walaupun guru ditingkatkan dengan sertifikasi, dengan intensif gaji yang tinggi, dengan tujuan meningkatkan kualitas guru, tetapi malahan yang terjadi demi mendapatkan sertifikasi tersebut terjadi lagi pemalsuan, pembelian gelar, dan penipuan ilmiah dengan plagiat thesis, dan lain sebagainya. Padahal Rasulullah saw telah memperingatkan umatnya:

“Janganlah engkau mempelajari ilmu pengetahuan itu untuk berbangga-bangga (dengan title dan gelar) dan untuk menyombongkan diri sesama kolega dan kawan-kawan yang berilmu, atau mencari ilmu untuk dapat berdebat dan bertengkar dengan orang-orang yang bodoh, atau kamu belajar untuk menarik perhatian orang lain. Siapa yang berbuat demikian, maka dia akan masuk ke dalam neraka”
( Hadis sahih / Ibnu Majah ).

Dalam hadis lain juga disebutkan:
“Siapa saja yang menuntut ilmu diantara ilmu pengetahuan dengan niat untuk mendapatkan kekayaan dan harta benda dunia, maka orang itu tidak akan dapat mencium aroma surga”
(Hadis hasan, Riwayat Abu Daud )
Oleh sebab itu sudah selayaknya umat Islam memperhatikan niatnya dalam mencari ilmu, apakah untuk kemegahan dunia atau untuk mencari keridhaan Allah. Umat Islam sepatutnya belajar karena perintah Allah, dan untuk menjadi khalifah Allah, sebagai manifestasi dari ibadah kepadaNya.
Niat mencari ilmu sebagai ibadah inilah merupakan kunci kejayaan umat Islam di masa lalu, sehingga mereka dapat mencapai zaman keemasan seperti terbukti dalam sejarah Islam.
Keikhlasan seorang guru dalam menyampaikan ilmunya, keikhlasan seorang pelajar dalam mencari ilmu, dan keikhlasan seorang ayah dan ibu dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Guru mengajar karena Allah, sebagai bukti pengabdian kepada Allah.
Murid, pelajar, mahasiswa belajar menuntut ilmu karena perintah Allah dan sebagai amanah untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Orangtua menyekolahkan anak nya dari TK sampai sarjana bukan dengan tujuan biar si anak nanti menjadi politis, menteri dan lain sebagainya, tetapi semata-mata merupakan ibadah kepada Allah, menjalankan tanggung jawab sebagai orangtua yang berkewajiban memberikan pendidikan terbaik kepada anaknya, sebab anak adalah penerus hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Malahan akhir-akhir ini banyak sarjana ilmu agama tetapi pemikirannya malah merusak agama, dengan memberikan pemikiran liberal terhadap agama yang diyakininya. Sepatutnya seorang sarjana agama dapat meningkat kan kualitas pemahaman agama dalam masyarakatnya, tetapi ternyata mereka merusak pemahaman agama dalam masyarakat.
Banyak sarjana ilmu agama, tetapi karena terikut oleh rujukan sponsor barat, maka mereka berteriak kehebatan ide-ide barat seperti sekularisma, pluralisme, liberalisme, kesamaan gender, dan memakai ide-ide serta pemikiran barat tersebut untuk merobah hukum-hukum agama, dengan sokongan dana dari lembaga sosial barat. Mereka tega untuk merubah agama demi pesan sponsor, walaupun akibatnya akan merusak pemahaman Islam, dan menghancurkan syariat Islam.
Oleh sebab itu Yahya bin Uadz berkata :
“Hai segala ahli ilmu, istanamu bagaikan istana kaisar Romawi, rumahmu bagaikan rumah raja Parsi, pakaianmu bagaikan pakaian golongan dahriyah (Atheis), sepatumu bagaikan sepatu Jalut, kenderaanmu bagaikan kenderaan Qarun, tempat makanmu bagaikan tempat makan Fir’aun, dan perbuatanmu bagaikan perbuatan Jahiliyah, madzhabmu adalah madzhab syetan, jika sudah demikian, dimanakah lagi syariat Muhammad..?

Pada waktu yang sama sarjana bukan agama, malahan sampai kepada artis, pelawak, badut dan lain sebagainya berbicara tentang agama dengan pemikiran tanpa asas dan rujukan, sehingga dengan mudah menyalahkan ulama-ulama terdahulu. Banyak orang mengikuti ide dan pemikirannya bukan karena pemahaman ilmu yang luas tetapi karena banyak ibadah ritual yang ditunjukkannya. Padahal sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
“Ada dua orang yang dapat mendatang kan bala bencana kepada kita, yaitu orang yang berilmu, tetapi tidak menjaga kehormatan dirinya, dan orang yang tidak berilmu ( jahil ) tetapi kuat dalam beribadah.
Orang yang jahil itu menipu manusia dengan ibadah ritualnya, dan orang yang berilmu itu menipu manusia dengan kelengahannya”.

Rasulullah juga bersabda :
“Pada akhir zaman nanti ada orang yang beribadah tetapi tidak berilmu, dan ada orang yang berilmu tetapi tidak beribadah “ ( riwayat Hakim ).

Hasan AlBashri berkata:
“Siksaan bagi orang yang berilmu adalah mati hatinya, dan itu disebabkan karena dia mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat”.

Khalifah Umar bin Khatab juga berkata:
“Apabila engkau melihat orang yang berilmu tetapi sibuk mencintai dunia, maka curigalah kamu terhadap agamanya. Karena jika seseorang mencintai sesuatu, maka dia akan masuk dan tengelam di dalamnya“.

Ilmu itu bukanlah informasi, informasi adalah jalan mencapai ilmu. Ilmu adalah pemahaman yang terdapat dalam diri dan jiwa. Ilmu itulah yang dapat menjadi petunjuk dalam kehidupan, sebagaimana dinyatakan Imam Syafi’i:
“Siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuk Allah kepadanya, maka dia akan bertambah jauh dari Allah dengan ilmu tersebut “.
Oleh sebab itu agar tidak salah niat dalam belajar, di Pondok Modern Gontor selalu tertulis slogan:
Belajar itu ibadah “ thalabul ilmi “,
ibadah menuntut ilmu sebab Allah telah mewajibkansetiap pribadi muslim mencari ilmu, sebagaimana sabda rasul saw:

“Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi muslim dan muslimah “.

Oleh sebab itu, jika ada ujian, maka bagi seorang muslim ujian itu untuk belajar, bukan belajar untuk ujian, sebab jika ujian untuk belajar, maka tujuannya ibadah. Tetapi jika belajar untuk ujian, maka tujuan nya adalah selembar ijazah, yang akan merubah niat belajar, dari niat ibadah kepada niat mencari ijazah.
Belajar itu ibadah, ujian juga ibadah, sebagaimana dinyatakan Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Pelajari ilmu, sebab mempelajari ilmu itu adalah taqwa, mencarinya adalah ibadah, mengulangi pelajaran merupakan tasbih, dan mengkaji dengan lebih dalam lagi merupakan jihad”. (hadist riwayat Ibnu Hibban). Fa’tabiru Ya Ulil albab.
(HM Arifin Ismail - renungan Jum'at ISTAID - Medan)
selengkapnya.....

Selasa, 25 Mei 2010

Mencari alQur'an

Ya Tuhanku, sesungguhnya ummatku telah menjauhkan diri dari al Quran “
(QS Furqan : 30 )


Peristiwa demi peristiwa terjadi untuk menyudutkan kesucian Islam, baik dengan mengatakan Islam itu agama tertoris, dengan pelecehan karikatur nabi Muhammad, maupun dengan menghina kitab suci Al Quran. Tetapi pada saat yang sama, isu tersebut memberikan motivasi kepada orang barat untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam, pribadi Muhammad dan isi kandungan kitab suci Al Quran.
Mengapa demikian..? Sebab bagi orang yang berpikir, mereka tidak akan dengan mudah mempercayai isu yang berkembang, tetapi isu dijadikan wacana untuk mencari suatu kebenaran. Jika seseorang sudah terbiasa untuk berpikir objektif, maka informasi baik yang didapat dari media cetak, media maya, tidak dapat langsung dipercaya, tetapi harus dikaji ulang, sehingga mereka tidak mudah percaya dan mempercayai isu tersebut. Lebih lanjut lagi, isu menjadi topic untuk mencari kebenaran informasi. Inilah bukti dari ayat :
“orang-orang kafir membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu, dan Allah Ta’ala adalah sebaik-baik pembalas tipu daya“ (QS. Ali Imran : 54)


Menjadi wacana obrolan dan pembicaraan di Amerika Serikat. Peristiwa penghinaan al Quran di penjaran Guantanamo telah menjadikan kitab suci umat Islam itu menjadi benda yang mengundang keingintahuan orang Barat, terutama di luar komunitas muslim. Terlebih lagi kasus penistaan Al-Quran yang terjadi di kamp penahanan Guantanamo itu telah mengilhami CAIR, lembaga yang mengurus hubungan Amerika-Islam yang berpusat di Washington meluncurkan gagasan untuk membagikan Al-Quran gratis ke seantero Amerika. Kampanye berjuluk “Menyelami Al-Quran” itu bermaksud membuat warga Amerika memahami kitab suci tersebut.
CAIR mengklaim sekitar 6.000 warga Amerika telah meminta copy AlQuran untuk mereka pelajari. Kampanye pembagian AlQuran gratis ini sempat dipublikasikan oleh dua media cetak lokal: USA Today dan Wall Street Journal. CAIR mengaku kewalahan menerima permintaan yang masuk. “Setiap menit setidaknya empat sampai lima permintaan masuk ke kantor kami,” kata NIhad Awad, direktur Eksekutif CAIR
Dalam salah satu edisinya akhir bulan silam, Wall Street Journal menulis, “bagi umat kristiani, firman Tuhan menjelma dalam Yesus, sedangkan AlQuran adalah firman Tuhan yang dihimpun di dalam buku, setiap huruf Arab yang ada di dalamnya adalah napas dari firman yang Maha kuasa.” Menurut Awad, warga Amerika memiliki keingintahuan yang besar untuk mengetahui AlQuran. “Semakin dibicarakan, semakin besar keingintahuan orang,” kata Awad. “Dan biarlah Al-Quran itu sendiri yang menjelaskan dirinya sendiri.” CAIR mengakui, penistaan AlQuran di Guantanamo telah mencoreng wajah warga Amerika. “Perbuatan segelintir orang Amerika itu tidak bisa ditoleransi warga Amerika,” katanya.
Menurut data CAIR, para pemesan copy AlQuran berasal dari berbagai kalangan. Seorang polisi yang bertugas di kawasan berpenduduk muslim memesan Al-Quran untuk memudahkan tugasnya dalam memahami warga. Sejumlah pendeta Washington yang memesan AlQuran mengaku ingin menjelaskan kitab suci itu kepada jemaahnya. CAIR juga mengaku menerima permintaan dari berbagai pemeluk agama lainnya. Copy pertama yang diluncurkan CAIR pekan ini ke tengah warga Amerika itu berjumlah 25 ribu eksemplar. AlQuran yang mereka luncurkan merupakan terjemahan Abdullah Yusuf Ali. Kampanye pembagian AlQuran gratis ini diakui warga muslim Washington sebagai kesempatan emas untuk mempromosikan Islam. Sejumlah penelepon muslim memuji langkah CAIR tersebut sebagai cara yang baik untuk memperkenalkan Islam.
Menurut Awad, warga Amerika telah membaca berbagai jenis buku yang berlatar belakang agama, “Namun, saya yakin kebanyakan warga Amerika tidak pernah melihat apalagi menyentuh AlQuran.” CAIR mengakui, karena mereka menjalan kan program nirlaba, kampanye pembagian Al-Quran ini membutuhkan dukungan dari umat Islam. Bukan saja muslim Amerika, tapi juga seluruh dunia. “Kami tidak ingin kampanye AlQuran gratis ini memercikkan kontroversi baru di kalangan muslim,” kata Awad. “Kami lembaga legal dan transparan dan memiliki hubungan baik dengan pemerintah,” katanya. Kampanye AlQuran gratis ini juga mengundang perhatian pemerintah Amerika Serikat. Sejumlah pejabat dari kementerian luar negeri sering datang untuk menggelar diskusi dengan CAIR.
Orang barat sibuk mencari Quran, untuk mengetahui isi kandungannya, karena banyaknya informasi tentang Islam yang telah diselewengkan. Mereka tidak percaya dengan informasi dari berita, media sebelum membuktikan sendiri. Mereka juga tidak percaya dengan gambar-gambar dan keadaan umat Islam yang ditayangkan tivi, atau yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka ingin mencari Islam itu dari sumber aslinya.
Sumber asli suatu agama adalah kitab suci, dan pribadi Rasul. Itulah sebabnya sewaktu merebak issu tentang Islam, mereka segera membaca buku-buku yang berkaitan dengan Islam, terutama al Quran dan buku sejarah perjuangan dan pribadi nabi Muhammad saw. Ternyata kitab suci alQuran memberikan pencerahan kepada mereka, sebab isi alQuran bukan saja sebagai buku agama dalam arti yang sempit, tetapi merupakan buku rujukan dan pedoman untuk hidup dan menghadapi kehidupan. Seperti tertulis dalam awal surah al Baqarah: “Dzalikal kitab la raiba fihi, hudan lil muttaqin“. Kitab suci ini tidak ada keraguan di dalamnya dan dapat menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa “.
Ayat ini bermakna setiap ayat di dalam al Quran, baik yang berkaitan dengan hukum, atau bercerita tentang kehidupan akhirat di masa mendatang, atau kisah masyarakat dan kaum zaman dahulu, juga ayat yang berkaitan dengan fenomena alam, dan berhubungan erat dengan sains, semuanya itu merupakan petunjuk hidup.
AlQuran sejak pertama menyuruh kita untuk selalu “Iqra“, mengkaji, membaca, menganalisa, kemudian memikirkan dan mengambil kesimpulan apa yang dibaca, baik yang tersirat dan yang tersurat. Al Quran memberikan pedoman kepada kita bagaimana menghargai waktu dengan “Wal Ashri“, demi waktu; dan tidak terpengaruh dengan hal-hal yang remeh, perkara yang “lagha“ (sesuatu yang tidak berguna), dan menyuruh kita setiap saat untuk berpikir kepada masa depan, berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat).
Bagi orang barat, dengan mengkaji al Quran mereka mendapatkan kebenaran atas informasi yang diterima, sehingga akhirnya mereka petunjuk mana yang benar dan mana yang salah. Bagi mereka yang mencari petunjuk hidup, setiap ayat yang dibaca, akan mereka pahami dengan benar, bukan hanya sekedar dibaca tanpa makna.
Sayangnya, bagi umat Islam, ayat-ayat Al Quran hanya dibaca untuk mencari pahala, tanpa harus berpikir untuk menyelami makna, padahal Ibnu Mas’ud pernah berkata bahwa pahala membaca dengan mencari makna lebih tinggi dari membaca saja tanpa makna. Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf mengatakan: “Siapa yang mengkaji al Quran untuk mendapatkan petunjuk darinya maka jalan kebenaran akan menjadi jelas baginya“.
Oleh sebab itu Ibnu Abbas berkata bahwa:
“Membaca surah al Baqarah dan Ali Imran dengan mencari makna dan memahaminya (tadabbur) lebih aku suka daripada membaca seluruh ayat-ayat (sampai khatam) tanpa makna“.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa, Rasulullah membaca satu ayat berulang kali agar dapat dihayati dan dipahami oleh makmum yang mendengar ayat tersebut. Abu Dzar menceritakan bahwa Rasulullah berdiri untuk menjadi imam bersama kami dalam suatu shalat di tengah malam, maka Rasulullah mengulang-ulang ayat “In tu’azzibhum fainnahum ibaduka“ (QS.Maidah:118) beberapa kali dalam bacaan ayat shalat tersebut. (hadis riwayat Nasai, dan Ibnu Majah dengan sanad sahih)
Sebagian umat lagi hanya menjadikan alQuran untuk mengusir syetan dan hantu tanpa memahami makna ayat tersebut. Sebagai contoh, banyak orang membaca ayat kursiy, surah alFalaq, sunah anNas jika ada perasaan takut dengan syetan atau hantu, tanpa memahami dan menghayati kandungan ayat yang dibaca dalam surah tersebut. Padahal makna ayat tersebut adalah untuk mengakui kekuasaan Allah, sebab Allah itu tidak tidur dan juga tidak mengantuk (la sinatun wa la naum), dan dengan membaca dan mehami kita yakin bahwa Allah Ta’ala menjaga manusia dari segala macam kejahatan makhluknya (min syarri ma khalaq), dan kejahatan lainnya. Keyakinan itu harus disandarkan kepada Allah, bukan kepada bacaan, sebab bacaan itu merupakan pengantar untuk keyakinan kepadaNya.
Ada lagi sebagian umat yang melihat surah-surah al Quran dengan melebihkan satu surah dan tidak memperdulikan surah lain, sehingga sibuk membaca surah yasin tanpa pernah membaca surah lain; padahal setiap surah, setiap ayat, itu mempunyai nilai petunjuk yang sama tetapi dalam keadaan berbeda. Jika manusia ingin mengatahui bagaimana menghadapi kesyukaran baca dan yakinlah dengan “Alam nasyrah laka sadrak..fa inna ma’al usri yusra“, bahwasanya setiap kesulitan pasti ada kesenangan. Jika kita ingin menghadapi musuh maka lakukanlah sikap berkorban yang melebihi dari orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam surah “ An Nasr“. dan lain sebagainya.
Dikarenakan sebagian umat Islam telah tidak memfungsikan al Qur’an sebagai petunjuk hidup, dan tidak mencari atau memahaminya lagi sehingga Rasulullah berkata: “ Ya Tuhanku, sesungguhnya ummatku telah menjauhkan diri dari al Quran “ ( QS. Furqan: 30 ).
Orang barat sibuk mencari al Quran, membaca makna yang terkandung di dalamnya, dan akhirnya dengan izin Allah mereka mendapat petunjukNya, tetapi disaat yang sama orang Islam yang telah memiliki al Quran di rumahnya masing-masing lupa dan lalai untuk membacanya, apalagi mempelajari, mendalami makna yang terkandung di dalamnya, malahan sebagain pemikir liberal malah sudah sampai menjadikan al Quran menjadi permainan pemikiran liberalnya. Akibatnya, bisa jadi nanti di barat lebih banyak orang memahami Islam daripada orang Islam di negeri muslim itu sendiri. Fa’tabiru Ya Ulil albab.
selengkapnya.....