Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud berkata :
“Akan datang kepada manusia suatu masa, orang yang terbalik kemanisan hatinya menjadi asin. Sehingga pada hari itu, orang yang berilmu tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu yang dimilikinya, dan orang yang mempelajari ilmu tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya.
Maka hati orang yang berilmu laksana tanah kosong yang bergaram, dan turun hujan membasahi tanah tersebut, sehingga tidak ada lagi rasa tawar dalam air yang mengalir dari tanah tersebut. Hal itu akan terjadi jika hati orang yang berilmu sudah condong kepada mencintai dunia dan mendahulukan dunia daripada akhirat. Oleh sebab itulah dicabut Allah dari hati tersebut sumber-sumber hikmah, dan dipadamkan lampu petunjuk dari hati mereka.
Orang yang berilmu itu menceritakan bahwa dia takut kepada Allah, tetapi sikap hidup dan perbuatannya penuh dengan kedzaliman dan dosa. Alangkah suburnya lidah mereka dalam berbicara, tetapi hati mereka tandus dan kering. Hal itu semua terjadi jika seorang guru mengajar bukan karena Allah, dan pelajar juga belajar bukan karena Allah”.
Niat mencari ilmu adalah sangat penting, sehinga ilmu itu dapat menjadi petunjuk dan pedoman dalam mengharungi kehidupan.
Pada hari ini kita lihat, sekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi telah tersedia dengan segala macam bentuk gaya. Setiap tahun ribuan sarjana dikeluarkan dengan gelar dari strata satu, srata dua, sampai strata tiga, dengan gelar master dan doktor. Tetapi dalam kehidupan gelar kesarjanaan tersebut tidak merubah akhlak dan tidak menguatkan keimanan, malahan banyak terjadi sarjana yang melakukan maksiat, korupsi, penipuan, penganiayaan dan sebagainya. Mengapa hal ini dapat terjadi, dalam sistem pendidikan kita..?
Walaupun guru ditingkatkan dengan sertifikasi, dengan intensif gaji yang tinggi, dengan tujuan meningkatkan kualitas guru, tetapi malahan yang terjadi demi mendapatkan sertifikasi tersebut terjadi lagi pemalsuan, pembelian gelar, dan penipuan ilmiah dengan plagiat thesis, dan lain sebagainya. Padahal Rasulullah saw telah memperingatkan umatnya:
“Janganlah engkau mempelajari ilmu pengetahuan itu untuk berbangga-bangga (dengan title dan gelar) dan untuk menyombongkan diri sesama kolega dan kawan-kawan yang berilmu, atau mencari ilmu untuk dapat berdebat dan bertengkar dengan orang-orang yang bodoh, atau kamu belajar untuk menarik perhatian orang lain. Siapa yang berbuat demikian, maka dia akan masuk ke dalam neraka”
( Hadis sahih / Ibnu Majah ).
Dalam hadis lain juga disebutkan:
“Siapa saja yang menuntut ilmu diantara ilmu pengetahuan dengan niat untuk mendapatkan kekayaan dan harta benda dunia, maka orang itu tidak akan dapat mencium aroma surga”
(Hadis hasan, Riwayat Abu Daud )
Oleh sebab itu sudah selayaknya umat Islam memperhatikan niatnya dalam mencari ilmu, apakah untuk kemegahan dunia atau untuk mencari keridhaan Allah. Umat Islam sepatutnya belajar karena perintah Allah, dan untuk menjadi khalifah Allah, sebagai manifestasi dari ibadah kepadaNya.
Niat mencari ilmu sebagai ibadah inilah merupakan kunci kejayaan umat Islam di masa lalu, sehingga mereka dapat mencapai zaman keemasan seperti terbukti dalam sejarah Islam.
Keikhlasan seorang guru dalam menyampaikan ilmunya, keikhlasan seorang pelajar dalam mencari ilmu, dan keikhlasan seorang ayah dan ibu dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Guru mengajar karena Allah, sebagai bukti pengabdian kepada Allah.
Murid, pelajar, mahasiswa belajar menuntut ilmu karena perintah Allah dan sebagai amanah untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Orangtua menyekolahkan anak nya dari TK sampai sarjana bukan dengan tujuan biar si anak nanti menjadi politis, menteri dan lain sebagainya, tetapi semata-mata merupakan ibadah kepada Allah, menjalankan tanggung jawab sebagai orangtua yang berkewajiban memberikan pendidikan terbaik kepada anaknya, sebab anak adalah penerus hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Malahan akhir-akhir ini banyak sarjana ilmu agama tetapi pemikirannya malah merusak agama, dengan memberikan pemikiran liberal terhadap agama yang diyakininya. Sepatutnya seorang sarjana agama dapat meningkat kan kualitas pemahaman agama dalam masyarakatnya, tetapi ternyata mereka merusak pemahaman agama dalam masyarakat.
Banyak sarjana ilmu agama, tetapi karena terikut oleh rujukan sponsor barat, maka mereka berteriak kehebatan ide-ide barat seperti sekularisma, pluralisme, liberalisme, kesamaan gender, dan memakai ide-ide serta pemikiran barat tersebut untuk merobah hukum-hukum agama, dengan sokongan dana dari lembaga sosial barat. Mereka tega untuk merubah agama demi pesan sponsor, walaupun akibatnya akan merusak pemahaman Islam, dan menghancurkan syariat Islam.
Oleh sebab itu Yahya bin Uadz berkata :
“Hai segala ahli ilmu, istanamu bagaikan istana kaisar Romawi, rumahmu bagaikan rumah raja Parsi, pakaianmu bagaikan pakaian golongan dahriyah (Atheis), sepatumu bagaikan sepatu Jalut, kenderaanmu bagaikan kenderaan Qarun, tempat makanmu bagaikan tempat makan Fir’aun, dan perbuatanmu bagaikan perbuatan Jahiliyah, madzhabmu adalah madzhab syetan, jika sudah demikian, dimanakah lagi syariat Muhammad..?
Pada waktu yang sama sarjana bukan agama, malahan sampai kepada artis, pelawak, badut dan lain sebagainya berbicara tentang agama dengan pemikiran tanpa asas dan rujukan, sehingga dengan mudah menyalahkan ulama-ulama terdahulu. Banyak orang mengikuti ide dan pemikirannya bukan karena pemahaman ilmu yang luas tetapi karena banyak ibadah ritual yang ditunjukkannya. Padahal sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
“Ada dua orang yang dapat mendatang kan bala bencana kepada kita, yaitu orang yang berilmu, tetapi tidak menjaga kehormatan dirinya, dan orang yang tidak berilmu ( jahil ) tetapi kuat dalam beribadah.
Orang yang jahil itu menipu manusia dengan ibadah ritualnya, dan orang yang berilmu itu menipu manusia dengan kelengahannya”.
Rasulullah juga bersabda :
“Pada akhir zaman nanti ada orang yang beribadah tetapi tidak berilmu, dan ada orang yang berilmu tetapi tidak beribadah “ ( riwayat Hakim ).
Hasan AlBashri berkata:
“Siksaan bagi orang yang berilmu adalah mati hatinya, dan itu disebabkan karena dia mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat”.
Khalifah Umar bin Khatab juga berkata:
“Apabila engkau melihat orang yang berilmu tetapi sibuk mencintai dunia, maka curigalah kamu terhadap agamanya. Karena jika seseorang mencintai sesuatu, maka dia akan masuk dan tengelam di dalamnya“.
Ilmu itu bukanlah informasi, informasi adalah jalan mencapai ilmu. Ilmu adalah pemahaman yang terdapat dalam diri dan jiwa. Ilmu itulah yang dapat menjadi petunjuk dalam kehidupan, sebagaimana dinyatakan Imam Syafi’i:
“Siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuk Allah kepadanya, maka dia akan bertambah jauh dari Allah dengan ilmu tersebut “.
Oleh sebab itu agar tidak salah niat dalam belajar, di Pondok Modern Gontor selalu tertulis slogan:
Belajar itu ibadah “ thalabul ilmi “,
ibadah menuntut ilmu sebab Allah telah mewajibkansetiap pribadi muslim mencari ilmu, sebagaimana sabda rasul saw:
“Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi muslim dan muslimah “.
Oleh sebab itu, jika ada ujian, maka bagi seorang muslim ujian itu untuk belajar, bukan belajar untuk ujian, sebab jika ujian untuk belajar, maka tujuannya ibadah. Tetapi jika belajar untuk ujian, maka tujuan nya adalah selembar ijazah, yang akan merubah niat belajar, dari niat ibadah kepada niat mencari ijazah.
Belajar itu ibadah, ujian juga ibadah, sebagaimana dinyatakan Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Pelajari ilmu, sebab mempelajari ilmu itu adalah taqwa, mencarinya adalah ibadah, mengulangi pelajaran merupakan tasbih, dan mengkaji dengan lebih dalam lagi merupakan jihad”. (hadist riwayat Ibnu Hibban). Fa’tabiru Ya Ulil albab.
(HM Arifin Ismail - renungan Jum'at ISTAID - Medan)
0 komentar:
Posting Komentar