Sabtu, 29 Mei 2010

Kartini, emansipasi dan Hukum Islam

Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, disebabkan tanggal tersebut adalah hari lahir R.A.Kartini (1879-1904). Kartini dianggap sebagai tokoh wanita yang memperjuangkan hak-hak wanita dengan surat menyurat yang dilakukannya, yang dikumpulkan dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang“.
Ide dan pemikiran Kartini tersebut bagi sebagian orang menjadi inspirasi untuk mengangkat derajat wanita bagi bangsa Indonesia. Padahal sebelum Kartini dilahirkan, sudah banyak putri-putri bangsa Indonesia yang telah berkiprah dalam masyarakat sebagaimana yang ditunjukkan oleh putri-putri Aceh di masa lalu. Mereka telah membuktikan diri mereka mampu bermain di tengah masyarakat muslim, disebabkan Islam sangat menghormati hak-hak seorang wanita. Tetapi anehnya pada saat sekarang ini dengan ide emansipasi wanita, kesamaan gender, dan lain sebagainya, malahan banyak kaum wanita yang meminta hak melebihi baras-batas agama Islam, malahan sampai kepada melanggar aturan agama.


Kerajaan Aceh pernah diperintah oleh 4 Sulthanah dari 31 Sulthan penguasa Aceh, yaitu Sri Tajul Alam Safiatuddin (1050-1086 Hijriyah) Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 Hijriyah ), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 Hijriyah), Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 Hijriyah).
Mereka memerintah tanpa harus mengganggu hukum Islam, malahan mereka memerintah dengan untuk menegakkan hukum Islam. Terbukti selama pemerintahan tersebut, mereka mengangkat seorang ulama Syekh Abdurrauf Al Fansuri sebagai mufti kerajaan Aceh.
Begitu hebatnya kedalaman ilmu agama Syekh Abdurauf Fansuri yang dikenal dengan nama Syah Kuala ini sehingga dalam masyarakat Aceh terkenal semboyan yang menyata kan bahwa:  “Kekuasaan di tangan Iskandar Muda dan hukum agama di tangan Syah Kuala“. Ini terbukti bahwa selama pemerintahan ratu di Aceh hukum Islam tetap berjalan dengan baik.
Bukan saja itu, Aceh juga telah membuktikan mempunyai panglima kapal perang seorang perempuan yang bernama Laksamana Malahayati yang memimpin armada laut kerajaan Aceh  berperang melawan kapal perang Portugis. Laksanama Malahayati telah membuktikan bahwa seorang perempuan mampu untuk memimpin armada laut, tanpa harus menghilangkan identitas perempuan dan mengganggu hukum-hukum agama Islam, malah dia berperang melawan Portugis karena motivasi keagamaan dalam berjihad di jalan Allah.
Dalam bidang pendidikan, Aceh mempunyai seorang ulama perempuan yang memimpin pondok pesantren. TengkuFakinah adalah ulama perempuan Aceh yang memimpin dayah LamDiran. Ini membuktikan bahwa seorang perempuan dapat menjadi ulama, padahal selama ini banyak orang mengatakan bahwa Islam melarang seorang perempuan untuk belajar, padahal Islam membebaskan perempuan untuk belajar apa saja, bahkan membolehkan perempuan menjadi ulama, ahli fikih, dan lain sebagainya.
Dalam perjuangan fisik untuk mempertahankan agama dan negara, kita mengenal pahlawan Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid. Sejarah juga mencatat, pahlawan lain bernama Cut Meutia, yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase yang akhirnya menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kape Belanda.
Pocut Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898 -1906.
Pocut Meurah Intan, yang juga sering disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak anaknya Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904.
Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.
Perjuangan wanita Islam zaman dahulu begitu hebatnya, dan semua itu dilakukan dalam rangka melaksanakan hukum Islam dan semangat keislaman.
Anehnya sekarang ini perjuangan emansipasi yang disebarluaskan, bukan emansipasi sebagaimana yang dinyatakan oleh wanita muslimah dimasa lalu seperti puteri Aceh atau Kartini sendiri, sebab perjuangan puteri Aceh dan Kartini bukan untuk mengikuti kebebasan wanita dalam dunia barat, dan bukan untuk mengikuti budaya barat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Kartini sendiri dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira masyarakat Eropa itu satu-satunya yang paling baik, tiada taranya.
Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?”

Lihatlah bagaimana Kartini tidak mau mengikuti peradaban barat sebab dia melihat bahwa dalam peradaban barat banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Tetapi banyak pengikut Kartini sekarang dengan dalih mengikuti gerakan Kartini maka mereka seenaknya mengikuti peradaban barat. Mereka membuka aurat dengan alasan emansipasi wanita, dan lain sebagainya. Malahan ada sebagian kelompok pergerakan wanita yang dikenal dengan nama “kelompok gerakan feminis“ meminta hak nikah yang sama dengan lelaki, hak cerai yang sama, hak talak yang sama, hak iddah yang sama.
Hal ini sudah terlihat dalam draft yang diajukan dalam rencana perubahan undang-undang keluarga yang disusun oleh Musdah Mulia bahwa mereka meminta perempuan mempunyai hak menceraikan suami, wanita mendapat kan hak harta pusaka yang sama dengan lelaki, malahan sebagaimana yang terjadi di kelompok feminis muslim di India, mereka meminta agar dapat menjadi qadhi perempuan yang menikahkan muslimah dengan saksi muslimah.
Di Amerika, muslimah Amerika Aminah Wadud malah mempelopori agar seorang wanita boleh menjadi imam shalat jum’at, dan khatib shalat jum’at. Padahal sewaktu seorang perempuan di Aceh menjadi ratu saja, mereka yang sudah menjadi ratu dan kepala negara tidak menjadi imam dan khatib shalat jum’at, tetap diserahkan kepada ulama dari kaum lelaki. Inilah emansipasi menurut islam, emansipasi yang tidak melanggar hukum-hukum Islam.
Tetapi Aminah Wadud, karena merasa dirinya seorang yang pakar Islam, karena mempunyai gelar profesor dalam studi Islam sudah berani melakukan khutbah dan imam shalat Jum’at, dengan alasan persamaan hak antara lelaki dan perempuan, padahal itu dilakukan karena mengikut peradaban barat, apalagi akibat perbuatan itu akan menghancurkan syariat Islam.
Ini bukan emansipasi
Islam memberikan persamaan hak bagi lelaki dan perempuan, malahan sejarah mencatat bahwa kaum Yahudi, kristiani, Hindu dan semua agama selain Islam sangat merendahkan wanita, sehingga datanglah Nabi Muhammad yang mengangkat derjat wanita lebih tinggi, dan sederajat dalam nilai-nilai kemanusiaan.

“Sesungguhnya Allah tidak mensia-siakan amal orang yang beramal baik, lelaki maupun perempuan karena sebagian kamu adalah keturunan sebagian yang lain“
(QS. Ar Ra’d: 195 )

Tetapi kesamaan hak dan derajat tersebut dilakukan dengan hak dan kewajiban masing-masing .
“Untuk lelaki ada bagian dari usaha yang dikerjakan dan untuk wanita ada bagian dari usaha yang dikerjakan “
(Qs. An Nisa : 32 ).
Dari ayat ini maka perempuan dan lelaki harus berbagi kerja, dan tidak berarti harus sama, sebab semua mempunyai keistimewaan dan kemampuan masing-masing. Walaupun berbeda, Allah akan memberikan pahala sesuai dengan amal masing-masing.
“Siapa yang mengerjakan amal saleh, baik lelaki dan perempuan dan mereka orang yang beriman, maka mereka itu termasuk ke dalam syurga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun“ (QS. Nisa  : 124 ).
Fa’tabiru Ya Ulil albab.
(HM. Arifin Ismail - Renungan Jum'at ISTAID)

0 komentar:

Posting Komentar